Dilema Sesama Sistem Pencernaan
Prolog ini nggak lebih penting dari bagian tengahnya
Seperti biasa, aku baru saja makan
Intinya makan membuahkan ide untuk menulis
Sebenarnya tadi tak ada niatan untuk makan, sungguh
Tapi buktinya pada jam 21.35 ini masih tersisa kaldu di lidah
Padahal di 19.29 tadi aku menjawab, "nggak."
Saat papaku bertanya, "kakak nggak makan?"
Saat itu aku sadar ini H-1 LC
Tapi nggak sadar kalo bakal butuh banyak karbohidrat
Sampai mba Angie bilang, "istirahat!! jangan lupa makan!!"
"Okee!!" batinku
Batinku
Kenyataannya aku tetap malas makan
Nanti gendut, buncit, tebal
Peduli apa besok Libels Cup?
Namun di detik aku merebahkan diri ke sarangku
Ada suara, nyaring, kedua telingaku dengar
Itu adalah perutku menangis ingin makan
Ah yasudah, peduli apa nanti gendut?
Jahatnya, tepat saat aku melesat keluar,
Ini lidah emang nggak tahu diri
Sebagai indera penting, perasa
Malah nggak nafsu makan
Astaga, aku harus apa?
Dua organ tubuhku bertengkar
Huh, padahal mereka masih dalam satu sistem
Jadi kayak aku sama adekku
Aku pun mengintip isi si rice cooker
"Nasinya keras. Hentikan ini, tolong."
Aku menahan nafas, mengunci bibir rapat-rapat
"Aku benci nasi keras."
Tupperware diatas meja makan pun punya sesuatu
Ayam kecap, dua buah
Bentuknya seperti roll cake
Sedangkan yang satunya seperti penghapus, luar biasa
Aku tetap memilih piring, sih
Terserah si Perasa mau protes kayak gimana
Unjuk rasa pun aku akan pura-pura nggak denger
Aku sangat sangat lapar
Mungkin tiga menit aku mengisi piringku
Dengan nasi keras dan dua ayam aneh
Sambil menyabarkan diri
Karena sepertinya 50% diriku masih di pihak si Perasa
Si Pencerna teriak, "cepetan ta!!"
Otakku yang terbiasa spontan
Langsung mengambil botol besar di depan mata
Dan menuangkannya ke piring malangku
Aku lupa tulisannya apa, tapi aku yakin
Itu penyedap rasa buat nasi gorengnya mamaku
"Oke, aman," instingku tersenyum lebar
Kemudian lenganku yang agresif meraih sesuatu yang lebih kecil
Bulat, tutupnya merah
Tidak tidak, bukan rice cooker kecil ku yang imut itu
Tapi botol dengan label "Cabe Bubuk"
Yang sepertinya sering dipakai mamaku untuk memasak
Lagi-lagi tanganku iseng
Membelokkan ujung sendok dengan cerdik
Mencoba menuangkan sedikit pedas ke makan malam ini
Seselesainya, lari kearah kecap asin
Kepala kecap itu ada di kakinya
Isinya tumpah, ke sendok lalu ke nasi
Tak menunggu menit lagi, sudah tercampur rata
Tapi jemari ini masih haus
Merica sudah di tangan, tutupnya pun terbuka
Entahlah, aku mengocoknya sesuai perasaan
Hanya mengandalkan keberuntungan
Untuk tahu itu sudah cukup banyak apa belom
Kuakui, baunya enak
Mericanya bikin bersin sih, tapi gapapa
Si Perasa kayaknya sudah nggak sabar ingin menyentuh benda itu
Benda yang penampilannya seperti keset itu
Di sisi lain, si Pencerna justru menggeleng keras
"Kamu nggak pengen ngeracuni aku, kan?"
Ibaratnya menatap sinis, si Perasa membantah
"Enak aja! Ini semua komponen dari menu enak!"
Aku terjebak diantara dua wilayah
Dan sekarang berdiri dengan masing masing kaki di satu bagian
Dilema, seperti lagunya Ceribel
Ini adil apa enggak sih
Tapi kakiku mengantarku ke kursi ter-pewe di rumah
Dan memaksaku duduk, makan
Aku menoleh ke calon santapanku
Calon, tentu saja, masih calon
Diiringi 86
Sebuah krupuk
Dan lambung yang meraung, ditambah mulut yang ngiler
Aku melahap sendok pengangkut tekanan itu
Kunyah, telan, kemudian merevisi
Nggak asin, nggak pedes, gila
Penguat rasa dan kecap asin, cabe bubuk dan merica
Dan rasanya biasa aja? Bagaimana bisa?
Akhirnya sih kosong si piring merah ini
Tapi setelah minum, dan menunggu sesuatu memadat
Tak ada yang terjadi, sungguh
Ya Tuhan, dua ayam tinggal tulang tapi aku belom kenyang!
Ini 23.25 dan perutku menyanyi lagi
Nggak merdu blas sumpah
23.31 aku suruh diam, ia menurut
Dan sekarang waktunya tidur
Epilognya pun setidak penting bagian tengahnya
"Jangan sealay Anya Junor kalo pengen makan"
Seperti biasa, aku baru saja makan
Intinya makan membuahkan ide untuk menulis
Sebenarnya tadi tak ada niatan untuk makan, sungguh
Tapi buktinya pada jam 21.35 ini masih tersisa kaldu di lidah
Padahal di 19.29 tadi aku menjawab, "nggak."
Saat papaku bertanya, "kakak nggak makan?"
Saat itu aku sadar ini H-1 LC
Tapi nggak sadar kalo bakal butuh banyak karbohidrat
Sampai mba Angie bilang, "istirahat!! jangan lupa makan!!"
"Okee!!" batinku
Batinku
Kenyataannya aku tetap malas makan
Nanti gendut, buncit, tebal
Peduli apa besok Libels Cup?
Namun di detik aku merebahkan diri ke sarangku
Ada suara, nyaring, kedua telingaku dengar
Itu adalah perutku menangis ingin makan
Ah yasudah, peduli apa nanti gendut?
Jahatnya, tepat saat aku melesat keluar,
Ini lidah emang nggak tahu diri
Sebagai indera penting, perasa
Malah nggak nafsu makan
Astaga, aku harus apa?
Dua organ tubuhku bertengkar
Huh, padahal mereka masih dalam satu sistem
Jadi kayak aku sama adekku
Aku pun mengintip isi si rice cooker
"Nasinya keras. Hentikan ini, tolong."
Aku menahan nafas, mengunci bibir rapat-rapat
"Aku benci nasi keras."
Tupperware diatas meja makan pun punya sesuatu
Ayam kecap, dua buah
Bentuknya seperti roll cake
Sedangkan yang satunya seperti penghapus, luar biasa
Aku tetap memilih piring, sih
Terserah si Perasa mau protes kayak gimana
Unjuk rasa pun aku akan pura-pura nggak denger
Aku sangat sangat lapar
Mungkin tiga menit aku mengisi piringku
Dengan nasi keras dan dua ayam aneh
Sambil menyabarkan diri
Karena sepertinya 50% diriku masih di pihak si Perasa
Si Pencerna teriak, "cepetan ta!!"
Otakku yang terbiasa spontan
Langsung mengambil botol besar di depan mata
Dan menuangkannya ke piring malangku
Aku lupa tulisannya apa, tapi aku yakin
Itu penyedap rasa buat nasi gorengnya mamaku
"Oke, aman," instingku tersenyum lebar
Kemudian lenganku yang agresif meraih sesuatu yang lebih kecil
Bulat, tutupnya merah
Tidak tidak, bukan rice cooker kecil ku yang imut itu
Tapi botol dengan label "Cabe Bubuk"
Yang sepertinya sering dipakai mamaku untuk memasak
Lagi-lagi tanganku iseng
Membelokkan ujung sendok dengan cerdik
Mencoba menuangkan sedikit pedas ke makan malam ini
Seselesainya, lari kearah kecap asin
Kepala kecap itu ada di kakinya
Isinya tumpah, ke sendok lalu ke nasi
Tak menunggu menit lagi, sudah tercampur rata
Tapi jemari ini masih haus
Merica sudah di tangan, tutupnya pun terbuka
Entahlah, aku mengocoknya sesuai perasaan
Hanya mengandalkan keberuntungan
Untuk tahu itu sudah cukup banyak apa belom
Kuakui, baunya enak
Mericanya bikin bersin sih, tapi gapapa
Si Perasa kayaknya sudah nggak sabar ingin menyentuh benda itu
Benda yang penampilannya seperti keset itu
Di sisi lain, si Pencerna justru menggeleng keras
"Kamu nggak pengen ngeracuni aku, kan?"
Ibaratnya menatap sinis, si Perasa membantah
"Enak aja! Ini semua komponen dari menu enak!"
Aku terjebak diantara dua wilayah
Dan sekarang berdiri dengan masing masing kaki di satu bagian
Dilema, seperti lagunya Ceribel
Ini adil apa enggak sih
Tapi kakiku mengantarku ke kursi ter-pewe di rumah
Dan memaksaku duduk, makan
Aku menoleh ke calon santapanku
Calon, tentu saja, masih calon
Diiringi 86
Sebuah krupuk
Dan lambung yang meraung, ditambah mulut yang ngiler
Aku melahap sendok pengangkut tekanan itu
Kunyah, telan, kemudian merevisi
Nggak asin, nggak pedes, gila
Penguat rasa dan kecap asin, cabe bubuk dan merica
Dan rasanya biasa aja? Bagaimana bisa?
Akhirnya sih kosong si piring merah ini
Tapi setelah minum, dan menunggu sesuatu memadat
Tak ada yang terjadi, sungguh
Ya Tuhan, dua ayam tinggal tulang tapi aku belom kenyang!
Ini 23.25 dan perutku menyanyi lagi
Nggak merdu blas sumpah
23.31 aku suruh diam, ia menurut
Dan sekarang waktunya tidur
Epilognya pun setidak penting bagian tengahnya
"Jangan sealay Anya Junor kalo pengen makan"