Argumen Suci Dari Pemuda Menjijikan
post ini dibuat oleh anya junor
setelah makan sarden
bersama nasi yang sedikit
dan seperempat buah pir.
beri tahu aku, untuk apa kita makan kalau yang kenyang adalah kita sendiri?
kalian pasti pernah mendengar pertanyaan:
1. untuk apa makan kalau akan lapar lagi?
2. untuk apa beresin tempat tidur kalau akan ditiduri lagi?
3. untuk apa cebok kalau akan pup lagi?
4. blablabla
5. pokoknya pertanyaan terakhirnya adalah
6. untuk apa hidup kalau nanti akan mati?
ah, teman-temanku tercinta, pembaca yang aku hormati, kalau kalian mengenalku dengan baik, maka kalian akan percaya pertanyaan tadi telah berkunjung ke pikiranku sejak sepuluh tahun yang lalu.
tidak apa-apa. aku tidak butuh siapapun untuk percaya. aku bertahan lama sekali tanpa seorang pun percaya pada teori-teoriku. tentu saja itu karena aku tidak sembarang menyebarkannya. aku tahu aku akan dianggap sebagau penyebar kebudayaan menyimpang. yang muda akan bertanya dan menantang, tapi yang tua akan menantang dan bertanya.
muda: maksudmu? dunia ini hanya sebuah permainan, begitu? apa yang kau pikirkan!
sedangkan,
tua: apa yang kau pikirkan! maksudmu hidup ini sama sekali tak berguna, begitu?
kau bisa lihat perbedaannya disana. yang muda itu penuh rasa penasaran karena mereka pun tak tahu lebih banyak tentang dunia ini. memang masa ini adalah saat bagi mereka untuk mencari kebenaran. entah tentang jati diri mereka, atau tentang kebusukan dunia, atau tentang apapun. namun, mereka itu masih harus bergantung pada orang dewasa. itulah kenapa mereka takut mempercayai hal baru yang (padahal) bisa menyelesaikan masalah yang orang tua mereka tak bisa selesaikan.
yang tua menganggap lebih mudah untuk mendoktrin kita dengan tatanan yang sudah ada. sudah ada itu tak berpihak. baik ke benar, maupun salah. mereka jarang sekali mendengarkan kita. atau kalau boleh kubilang, mereka tak pernah mendengarkan sama sekali. mereka memotong begitu saja. mereka lebih tua. lebih bijaksana karena segala pengalaman yang telah mereka simpan baik-baik di memori. kita baru terjun ke laut sedangkan mereka sudah di tengah samudra.
mereka tak sadar kalau mereka hanya mengambang, tanpa berenang.
begitulah dunia kalau kita membiarkan ia mengontrol kita. memang, tak ada pelaut hebat yang belum pernah menerjang badai hebat. tapi kalau kau akan berdebat denganku menggunakan analogi itu, maka mohon maaf, kurasa kau akan kalah, karena itu keluar konteks.
seorang pelaut, dalam mengarungi samudra, seperti segala pekerjaan serta permasalahan di dunia ini, membutuhkan waktu. benar. mengarungi samudra membutuhkan waktu. menerjang badai itu bonus, menurutku. aku menganggap badai sebuah kesempatan besar bagiku untuk membuktikan kemampuanku. kekuatanku. entah kalian.
singkatnya, itu cuma masalah waktu. yang tua telah menerjang banyak badai karena mereka telah hidup lebih lama. kita tentu akan mendapatkan hal yang sama. badai itu akan datang pada yang muda, namun pada waktunya.
kembali ke topik.
darimana seseorang akan tahu, apakah ia berenang atau sekedar mengambang?
ini tergantung dari bagaimana ia memanfaatkan situasi. orang cerdas, dalam keadaan apapun, akan bersyukur terhadap segala yang telah diberikan pada dirinya, dan memanfaatkan itu sebagai tameng. ia akan menggunakan ombak untuk meluncur. orang bodoh hanya akan mengeluh. membiarkan badai petir menerpa wajahnya.
ibuku adalah orang paling bijaksana yang kukenal.
Socrates bilang, orang yang paling bijaksana adalah orang yang tahu ketika dirinya tidak tahu.
ibuku tidak tahu kalau ia bijak. seberapa keras pun aku memuji dirinya, dia akan bilang hal yang sama seperti yang aku katakan pada kalian. bahwa ia hidup lebih lama. tidak ada hal istimewa. bahwa aku akan menjadi seperti dirinya atau bahkan lebih. aku yang istimewa.
ah, ibu.
orang muda yang paling banyak umurnya. huf.
mengapa aku jadi membahas ibuku?
entahlah. supaya dapat berkah saja.
oke ayo lanjut.
sebenarnya, apa yang kupermasalahkan? aku akan jujur. sebenarnya aku sedang merasa mati. tidak sih. aku merasa mati setiap saat. tapi aku tahu sebenarnya aku tidak merasa mati. aku hanya mengetahui bahwa aku merasa mati. maksudku, aku mengetahui arti dari kehidupan ini, jadi aku merasa bahwa apapun yang aku lakukan disini, akan menjadi hasil yang abstrak. maka aku harus menjadi orang yang lebih produktif dalam hal yang nyata. berbuat baik itu nyata. menyayangi itu nyata. mencari uang itu tidak nyata. mencari kebahagiaan itu tidak nyata.
tapi, kau takkan paham. tidak masalah. aku hanya bercerita. aku merasa kalian berhak untuk tahu. tadi siang, aku sedang membahas tentang kejiwaan bersama seorang filsuf yang kukenal, kemudian temanku memotong dan bertanya padaku, "kau ini ngomong apa, sih?", namun tentu saja aku tak bisa bilang. ke pacarku saja aku tak bisa bilang. ke adikku saja tidak. ke ayahku saja tidak! bagaimana mungkin aku berpikir dia akan paham?
setidaknya, bercerita pada blog seperti ini akan lebih adil. aku tak bisa melihat raut kalian yang tak setuju pada argumenku. aku tak bisa melihat alis yang mengerut akibat omonganku yang ngawur. aku tidak bisa melihat wajah kalian yang pura-pura peduli.
masalah muda-tua tadi, aku rasa aku harus jadi penulis yang bertanggung jawab dan menjelaskannya.
sebenarnya, ini hanya masalahku dengan diriku sendiri. ini konflik batin. hanya aku saja yang ceroboh dan sekarang membiarkan jiwaku merasuki jemariku. baiklah. sekarang biarkan dunia tahu tentang jati diriku yang telah lama kesembunyikan.
begini. aku sebenarnya sering memendam bantahan saat pelajaran agama. bahwa terkadang aku tak setuju dengan guruku.
ah shit aku ini bunuh diri
biarlah
toh aku sudah mati
aku cuma, berpikir, bagaimana kalau sebenarnya aku tidak salah sama sekali karena telah berpikir begitu? bahwa telah memiliki pikiran yang menyimpang?
aku ini muda dan aku sedang belajar. aku tak seperti guru-guruku yang telah berkelana di dunia selama bertahun-tahun, dan kemudian menemukan hal yang sama. dimanapun mereka berada. kapanpun mereka ada. entah kebusukan yang sama, atau justru keindahan yang sama. aku tak pernah tahu perspektif mereka, bukan?
aku hanya berpikir, mungkin mereka terlalu terpaku pada tatanan. mungkin mereka dahulu juga pernah menjadi seperti kita, yang ingin membantah sedikit tentang tujuan kita dilahirkan ke dunia ini. mungkin mereka telah berperang, dan kalah, dan pada akhirnya harus menunduk pada aturan.
tidak pernahkah kau berpikir? siapa yang membuat aturan? mengapa kita harus patuh padanya? apa yang ia berikan pada kita? bagaimana kalau kita bisa menawarkan kedamaian dengan perspektif baru? perspektif yang lebih adil?
aku takut aku akan tua nanti. aku tidak mau tunduk pada ilmu dunia. aku tidak mau diberi tahu tentang sesuatu dan dipaksa mempercayainya. aku harus membuktikannya dulu. aku mau belajar sendiri. dan sejauh ini, aku rasa aku selangkah lebih maju dari orang-orang yang memutuskan untuk bilang, "fuck it," dan kemudian fokus mencari uang. supaya bahagia. sudah.
aku percaya pada Tuhan karena aku telah membuktikan Dia ada.
aku ingin yang lain juga seperti itu. percayalah, ini sebuah perubahan besar. aku tidak bisa melihat apa yang salah dari mencari Tuhan dan beriman karena petualangan kita sendiri. kenapa kita harus berpetualang dengan cara yang sama? mengapa kita dikotak-kotakkan? aku merasa jauh lebih damai setelah keluar dari rel yang kalian bentuk. aku merasa bahagia setelah meninggalkan definisi 'bahagia' menurut kalian. aku punya mata baru sekarang.
jawab kalau bisa. buat apa kita makan kalau yang kenyang adalah kita sendiri?
aku memutuskan untuk membantah peraturan kalian. aku tidak akan makan karena aku tidak ingin kenyang. bukan karena nanti aku akan lapar lagi, tapi karena aku telah kenyang dengan cara lain yang kau takuti.
dan kepada anya junor
yang baru makan sarden
bersama sedikit nasi
dan--- akhirnya--- setengah buah pir,
kepada anya junor
yang judul-judul postnya
memendam tanda tanya besar,
kepada diriku sendiri
beberapa tahun kedepan,
jangan.
jadi.
tua.
setelah makan sarden
bersama nasi yang sedikit
dan seperempat buah pir.
beri tahu aku, untuk apa kita makan kalau yang kenyang adalah kita sendiri?
kalian pasti pernah mendengar pertanyaan:
1. untuk apa makan kalau akan lapar lagi?
2. untuk apa beresin tempat tidur kalau akan ditiduri lagi?
3. untuk apa cebok kalau akan pup lagi?
4. blablabla
5. pokoknya pertanyaan terakhirnya adalah
6. untuk apa hidup kalau nanti akan mati?
ah, teman-temanku tercinta, pembaca yang aku hormati, kalau kalian mengenalku dengan baik, maka kalian akan percaya pertanyaan tadi telah berkunjung ke pikiranku sejak sepuluh tahun yang lalu.
tidak apa-apa. aku tidak butuh siapapun untuk percaya. aku bertahan lama sekali tanpa seorang pun percaya pada teori-teoriku. tentu saja itu karena aku tidak sembarang menyebarkannya. aku tahu aku akan dianggap sebagau penyebar kebudayaan menyimpang. yang muda akan bertanya dan menantang, tapi yang tua akan menantang dan bertanya.
muda: maksudmu? dunia ini hanya sebuah permainan, begitu? apa yang kau pikirkan!
sedangkan,
tua: apa yang kau pikirkan! maksudmu hidup ini sama sekali tak berguna, begitu?
kau bisa lihat perbedaannya disana. yang muda itu penuh rasa penasaran karena mereka pun tak tahu lebih banyak tentang dunia ini. memang masa ini adalah saat bagi mereka untuk mencari kebenaran. entah tentang jati diri mereka, atau tentang kebusukan dunia, atau tentang apapun. namun, mereka itu masih harus bergantung pada orang dewasa. itulah kenapa mereka takut mempercayai hal baru yang (padahal) bisa menyelesaikan masalah yang orang tua mereka tak bisa selesaikan.
yang tua menganggap lebih mudah untuk mendoktrin kita dengan tatanan yang sudah ada. sudah ada itu tak berpihak. baik ke benar, maupun salah. mereka jarang sekali mendengarkan kita. atau kalau boleh kubilang, mereka tak pernah mendengarkan sama sekali. mereka memotong begitu saja. mereka lebih tua. lebih bijaksana karena segala pengalaman yang telah mereka simpan baik-baik di memori. kita baru terjun ke laut sedangkan mereka sudah di tengah samudra.
mereka tak sadar kalau mereka hanya mengambang, tanpa berenang.
begitulah dunia kalau kita membiarkan ia mengontrol kita. memang, tak ada pelaut hebat yang belum pernah menerjang badai hebat. tapi kalau kau akan berdebat denganku menggunakan analogi itu, maka mohon maaf, kurasa kau akan kalah, karena itu keluar konteks.
seorang pelaut, dalam mengarungi samudra, seperti segala pekerjaan serta permasalahan di dunia ini, membutuhkan waktu. benar. mengarungi samudra membutuhkan waktu. menerjang badai itu bonus, menurutku. aku menganggap badai sebuah kesempatan besar bagiku untuk membuktikan kemampuanku. kekuatanku. entah kalian.
singkatnya, itu cuma masalah waktu. yang tua telah menerjang banyak badai karena mereka telah hidup lebih lama. kita tentu akan mendapatkan hal yang sama. badai itu akan datang pada yang muda, namun pada waktunya.
kembali ke topik.
darimana seseorang akan tahu, apakah ia berenang atau sekedar mengambang?
ini tergantung dari bagaimana ia memanfaatkan situasi. orang cerdas, dalam keadaan apapun, akan bersyukur terhadap segala yang telah diberikan pada dirinya, dan memanfaatkan itu sebagai tameng. ia akan menggunakan ombak untuk meluncur. orang bodoh hanya akan mengeluh. membiarkan badai petir menerpa wajahnya.
ibuku adalah orang paling bijaksana yang kukenal.
Socrates bilang, orang yang paling bijaksana adalah orang yang tahu ketika dirinya tidak tahu.
ibuku tidak tahu kalau ia bijak. seberapa keras pun aku memuji dirinya, dia akan bilang hal yang sama seperti yang aku katakan pada kalian. bahwa ia hidup lebih lama. tidak ada hal istimewa. bahwa aku akan menjadi seperti dirinya atau bahkan lebih. aku yang istimewa.
ah, ibu.
orang muda yang paling banyak umurnya. huf.
mengapa aku jadi membahas ibuku?
entahlah. supaya dapat berkah saja.
oke ayo lanjut.
sebenarnya, apa yang kupermasalahkan? aku akan jujur. sebenarnya aku sedang merasa mati. tidak sih. aku merasa mati setiap saat. tapi aku tahu sebenarnya aku tidak merasa mati. aku hanya mengetahui bahwa aku merasa mati. maksudku, aku mengetahui arti dari kehidupan ini, jadi aku merasa bahwa apapun yang aku lakukan disini, akan menjadi hasil yang abstrak. maka aku harus menjadi orang yang lebih produktif dalam hal yang nyata. berbuat baik itu nyata. menyayangi itu nyata. mencari uang itu tidak nyata. mencari kebahagiaan itu tidak nyata.
tapi, kau takkan paham. tidak masalah. aku hanya bercerita. aku merasa kalian berhak untuk tahu. tadi siang, aku sedang membahas tentang kejiwaan bersama seorang filsuf yang kukenal, kemudian temanku memotong dan bertanya padaku, "kau ini ngomong apa, sih?", namun tentu saja aku tak bisa bilang. ke pacarku saja aku tak bisa bilang. ke adikku saja tidak. ke ayahku saja tidak! bagaimana mungkin aku berpikir dia akan paham?
setidaknya, bercerita pada blog seperti ini akan lebih adil. aku tak bisa melihat raut kalian yang tak setuju pada argumenku. aku tak bisa melihat alis yang mengerut akibat omonganku yang ngawur. aku tidak bisa melihat wajah kalian yang pura-pura peduli.
masalah muda-tua tadi, aku rasa aku harus jadi penulis yang bertanggung jawab dan menjelaskannya.
sebenarnya, ini hanya masalahku dengan diriku sendiri. ini konflik batin. hanya aku saja yang ceroboh dan sekarang membiarkan jiwaku merasuki jemariku. baiklah. sekarang biarkan dunia tahu tentang jati diriku yang telah lama kesembunyikan.
begini. aku sebenarnya sering memendam bantahan saat pelajaran agama. bahwa terkadang aku tak setuju dengan guruku.
ah shit aku ini bunuh diri
biarlah
toh aku sudah mati
aku cuma, berpikir, bagaimana kalau sebenarnya aku tidak salah sama sekali karena telah berpikir begitu? bahwa telah memiliki pikiran yang menyimpang?
aku ini muda dan aku sedang belajar. aku tak seperti guru-guruku yang telah berkelana di dunia selama bertahun-tahun, dan kemudian menemukan hal yang sama. dimanapun mereka berada. kapanpun mereka ada. entah kebusukan yang sama, atau justru keindahan yang sama. aku tak pernah tahu perspektif mereka, bukan?
aku hanya berpikir, mungkin mereka terlalu terpaku pada tatanan. mungkin mereka dahulu juga pernah menjadi seperti kita, yang ingin membantah sedikit tentang tujuan kita dilahirkan ke dunia ini. mungkin mereka telah berperang, dan kalah, dan pada akhirnya harus menunduk pada aturan.
tidak pernahkah kau berpikir? siapa yang membuat aturan? mengapa kita harus patuh padanya? apa yang ia berikan pada kita? bagaimana kalau kita bisa menawarkan kedamaian dengan perspektif baru? perspektif yang lebih adil?
aku takut aku akan tua nanti. aku tidak mau tunduk pada ilmu dunia. aku tidak mau diberi tahu tentang sesuatu dan dipaksa mempercayainya. aku harus membuktikannya dulu. aku mau belajar sendiri. dan sejauh ini, aku rasa aku selangkah lebih maju dari orang-orang yang memutuskan untuk bilang, "fuck it," dan kemudian fokus mencari uang. supaya bahagia. sudah.
aku percaya pada Tuhan karena aku telah membuktikan Dia ada.
aku ingin yang lain juga seperti itu. percayalah, ini sebuah perubahan besar. aku tidak bisa melihat apa yang salah dari mencari Tuhan dan beriman karena petualangan kita sendiri. kenapa kita harus berpetualang dengan cara yang sama? mengapa kita dikotak-kotakkan? aku merasa jauh lebih damai setelah keluar dari rel yang kalian bentuk. aku merasa bahagia setelah meninggalkan definisi 'bahagia' menurut kalian. aku punya mata baru sekarang.
jawab kalau bisa. buat apa kita makan kalau yang kenyang adalah kita sendiri?
aku memutuskan untuk membantah peraturan kalian. aku tidak akan makan karena aku tidak ingin kenyang. bukan karena nanti aku akan lapar lagi, tapi karena aku telah kenyang dengan cara lain yang kau takuti.
dan kepada anya junor
yang baru makan sarden
bersama sedikit nasi
dan--- akhirnya--- setengah buah pir,
kepada anya junor
yang judul-judul postnya
memendam tanda tanya besar,
kepada diriku sendiri
beberapa tahun kedepan,
jangan.
jadi.
tua.