Jika Aku Ke House Of Sampoerna Bersamamu

Jika aku ke House of Sampoerna bersamamu,

aku takkan menyebut kata tembakau sebelum kau terjun sendiri ke basket-basket rotan yang disebar di sekujur ruangan. Keranjang anemonie dimana kau si ikan badut yang herannya mabuk laut.

Jika aku ke House of Sampoerna bersamamu,

aku takkan membiarkanmu masuk dengan saku jaket yang belum penuh. Dan kalau aku cukup ceroboh siang itu maka mungkin kau akan keluar dengan pakaian berlapis-lapis daun tembakau yang berdebu, dan aku harus bohong pada penjaga pagarnya dan bilang kau hanya luar biasa harum dan tuduhannya hanya luar biasa ngawur.

Jika aku ke House of Sampoerna bersamamu,

sepeda antik tak jadi cantik dan sofa-sofa tua tak jadi berharga. Mungkin malah kau yang dijadikan mumi dan dipajang dengan lampu sorot kuning. Untuk bisa menyentuhmu aku bukan hanya harus menerobos tali rafia, atau pintu kaca, atau mata penjaga atau kamera pengawas. Untuk melanggar peraturan agamamu aku harus mencari celah di antara detik-detik kau terhuyung, terangsang dan jatuh menghantam mesin pencetak rokok yang haus akan sidik jarimu.

Dan detik-detik di antara itu pastilah jadi waktu-waktu dimana kedua matamu yang setengah terbuka, menghisap jiwaku, mengajaknya berkelana di paru-parumu sebentar lalu menghembuskannya berbarengan dengan karbon dioksida yang baunya seperti arak beras.

Dan malam-malam di antara mabuk dan sadarmu, pastilah jadi waktu-waktu dimana kedua telapakmu berselancar di kulitku, menyedot bulir darahku yang panas karenamu, mengajaknya berkelana di paru-parumu juga, lalu memaksanya keluar lewat bibirmu yang terlalu halus untuk seorang pria, terlalu lembut dan terlalu aneh. Lebih aneh lagi fakta bahwa aku mengetahui soal tekstur bibirmu, hanya dengan satu (juta) kali melihat.

Dan masa-masa di antara aku jatuh cinta dan tidak, pastilah jadi waktu-waktu dimana aku bimbang apakah pikiran liarku boleh kawin dengan kepercayanmu, dan apakah perdebatan kita tentang Tuhan, yang keluar dari mulut kita bersama asap rokok, akan mengepul dan membentuk awan dan membangun surga sendiri berisi daun tembakau yang sudah kering dan sepeda antik dan lampu sorot kuning.

Dan aku bertanya-tanya apakah surga punya House of Sampoerna atau tidak, karena kalau punya, aku mungkin akan berubah pikiran dan akan percaya bahwa surga itu ada dan aku akan berdoa supaya bisa mengajakmu ke sana ketika di surga dan kau akan menertawakanku karena akhirnya aku berdoa juga.

Dan saat-saat di antara aku percaya dan tidak, pastilah jadi waktu-waktu dimana kau bilang bahwa Tuhan itu bukan untuk dipikirkan tapi untuk dirasakan.

Dan dari bibir hitammu puntung rokok berubah menjadi ringkih--- seperti aku yang lupa kiblatku ke jendela kanan atau jendela kiri.

.

Surabaya, 17/1/18

Popular posts from this blog

Aku Tidak Ingin Mati Dengan Tenang

Lihat Khianat & Lihat Khianat 2.0