Persik? Pasir? Pastikan Perasaanmu.

"Bagaimana rasanya?"
"Apa? Ini?
"Ya."
"Kau tak tahu rasanya buah persik?"
"Aku tak tahu rasanya bagimu."
"Umm, baiklah. Rasanya segar, sedikit berpasir--"
"Berpasir? Seperti di pantai?
"--ya, tidak. Tidak seperti itu. Jauh lebih lembut, dan manis."
"Manis seperti kamu?"
Telan. "Nathan, kau tak bisa menyamakan semua hal dengan hal lainnya..."
"Mengapa tidak? Kan memang benar?"
"Ya pokoknya tidak," Jade mengunyah lebih cepat. "Lagipula itu tidak benar."
"Itu sungguh benar!"
"Tidak!"

Nathan terkekeh dan Jade yakin tawa itu mereda karena diculik angin. Jade melihatnya-- tiupan lembut menyapu poni Nathan. Ia jadi ingat pohon kelapa, yang membuatnya ingat dengan pantai, yang membuatnya teringat lagi dengan Nathan. Kemudian Nathan berhenti tertawa, dan perempuan itu yakin ketika angin lewat di telinganya ada suara Nathan cekikikan.

"Jade, wajahmu persis buah persik."
Analogi Jade ternyata bukan yang paling payah. "Tidak."
"Sungguh! Pipimu merah sekali sekarang-- dan dengan darah Mongoloid dibalik kulitmu itu, kau terlihat seperti buah persik."
"Aku tidak peduli. Aku tidak suka menjadi buah persik," Jade menggigit persiknya.
"Tidak hanya buah persik," Nathan merebut si persik dari tangannya, "tapi buah persikku. Milikku."
Kemudian gumpalan pasir dingin di mulutnya gagal ditelan.

"Bagaimana? Apa kau akan suka itu?"

Popular posts from this blog

Aku Tidak Ingin Mati Dengan Tenang

Lihat Khianat & Lihat Khianat 2.0