Pesan Untuk Evan

Saya punya tulisan lagi! Yang ini muncul karena disuruh mengingat-ingat kenangan tahun 2011... Sebenarnya, saya disuruh membuat surat untuk diri saya sendiri. Tapi beginilah adanya. Jiwa saya yang berbicara. Silahkan disimak! Jangan lupa mencuci wajan yang habis dipakai masak--- kalau tidak bisa lengket dan susah dibersihkan.





Sudah resmi--- jantungku mati.

Kau menutup pintu dan aku merapat ke papan tulis. Kita berjauhan, tapi wajahmu tetap manis. Kelas ini kosong dan terang. Aku mencoba terlihat santai--- walau dalam hati ingin cepat pulang.

"Kalian ngapain di sini?" tanyamu. Aku menoleh ke arah Aul dengan sekujur tubuh kaku. Bagaimana tidak? Barusan saja aku curhat ke dia tentang kamu.

Ah, leganya mengetahui kau akan panjang umur.

"Ya... gapapa. Ngobrol," jawab Aul. Aduh, mampus aku. Alasan yang terlihat palsu. Mengingat kau siswa terpandai ketiga di kelas--- selalu tepat di atasku--- aku rasa kau takkan mudah tertipu.

Kau mengerutkan alis. "Kan bisa ngobrol di kelas?" kau bilang--- membuat nafasku berhenti. Tentu saja tidak bisa di kelas, karena tadi kau ada disana!

"Ya... di sini, kan, adem," balas Aul. Hal itu benar--- dan aku benar-benar keringat dingin. Ketika kau mengangguk mengerti, lututku sudah tidak bisa dipakai lagi. Aku balik badan dan mencari kursi.

"Loh? Kamu bawa apa, Mai?"

Deg.

Mati aku.

Aku membeku. Ada buku tulis di tangan kananku. Di halaman paling belakang, ada pesan dengan tinta biru. Pesan yang membuatku jantungan sehari penuh. Pesan yang membuatku semalaman tak bisa tidur.

Aku rasa, kau baru saja menembakku.

"Ah... ini, Van. Buku tulis," jawabku. "Buat kipas-kipas."

Kau tersenyum licik--- karena tahu aku tak mungkin kipas-kipas saat sedang kedinginan. Kau juga pasti mengenali buku tulis ini--- dan menyadari wajahku yang tengah merona.

Aku tak suka saat kau tersenyum karena sarafku akan mati dan aku takkan mampu bergerak lagi. Juga tak suka ketika mengetahui bahwa aku gagal menipumu--- berkali-kali.

"Aku pulang duluan ya," pamitku pada Aul dan kamu. Tak peduli sudah dijemput atau belum--- aku harus kabur dari aura mematikanmu!

Kau bersandar ke meja dan tersenyum lebar--- bangga sudah membuat nadiku berantakan. "Iya, Mai. Hati-hati ya!"

6 tahun kemudian, aku nostalgia. Tepatnya hari ini, aku bertanya-tanya.

Van--- di mana pun kau berada--- apakah saat itu aku gagal menipumu juga?

Saat aku bilang, bahwa aku tidak suka?

.

This is not a letter for myself in 2011, but what can i say? A part me has always been him, i guess?


Popular posts from this blog

Aku Tidak Ingin Mati Dengan Tenang

Lihat Khianat & Lihat Khianat 2.0